Loading...

MAU DIBAWA KE MANA ARAH BANGSA DI BAWAH KOMANDO PRABOWO

blog
Redaktur / 2024-04-26 06:51:18

MAU DIBAWA KE MANA ARAH BANGSA DI BAWAH KOMANDO PRABOWO

Amazing Eportal ; Pemerintahan Prabowo Subianto harus memilih kebijakan luar negeri dari tiga opsi yang ada pertama pro Amerika atau bergabung di blok Amerika, kedua bergabung di blok Rusia – Tiongkok, tiga melanjutkan  kebijakan tak berpihaknya Jokowi.


Opsi Pro Amerika

​            Dibawah Pemerintahan Joe Biden, Amerika menerapkan kebijakan “bersama Amerika atau menentang Amerika” kebijakan keras ini diawali dengan program perang proxy dengan Rusia di Ukraina. 

Disana terlihat jelas para sekutu Amerika utamanya Uni Eropa, Inggris, Kanada, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Pakistan dan Arab Saudi pada awalnya bingung dan ragu ragu untuk mengikuti komando Amerika dalam memerangi Rusia di Ukraina.

Hal tersebut dilihat dari pengiriman alutsista blok Amerika ke Ukraina yang di tentang oleh polandia, dimana antara jerman dan polandia saling lempar tanggung jawab yang menggunakan teritorialnya sebagai pangkalan dan atau penampung Alutsista, lalu juga bisa dilihat dari penolakan dari India, Jepang, Singapura atas keikutsertaannya dalam menerapkan sangsi sangsi ekonomi berat kepada Rusia.

Bahkan India malah membeli LNG atau Gas dan Minyak dari Rusia yang di embargo oleh Amerika. Karena keragu raguan para sekutu dan tindakan yang membangkang dari sekutu tersebut Amerika  tampak jelas mengambil langkah yang sangat keras terhadap sekutunya, yakni di bomnya pipa minyak dan Gas  Nord Stream 2.

Dimana Jerman seharusnya tersinggung karena project Nord Stream 2 menghabiskan biaya yang sangat mahal dan dibiayai oleh Jerman sebagai pipa penghubung aliran Minyak dan Gas yang terhubung langsung antara Jerman dan Rusia. Selain itu project Pipa Nord Stream 2, merupakan urat nadi perekonomian Jerman pada khususnya dan Uni Eropa pada Umumnya.

Bukan hanya Jerman, India juga di guncang dengan Isu minoritas Islam, yang sempat menimbulkan konsentrasi massa luar biasa di dalam negeri India, Sementara Arab Saudi terjadi ledakan di pabrik minyak Aramco yang di duga sebagai sabotase Amerika, karena Arab Saudi  membela Rusia dalam kasus Ukraina.

Yang paling parah adalah Pakistan dimana Perdana Menteri Imran Khan di Kudeta oleh Militer bahkan terjadi percobaan pembunuhan dengan luka tembakan di tubuh Imran Khan, yang juga di duga sebagai bagian dari hukuman penertiban atas pembelaan mati matian Imran Khan terhadap Rusia yang melakukan Operasi Militer Khusus di wilayah Ukraina.Penertiban awal ini cukup membuat mayoritas para sekutu ciut dan dengan kesadaran sendiri maupun secara terpaksa  mengikuti komando  Amerika. 

Pakistan dengan pemimpin barunya Junta Militer segera mengambil kebijakan yang pro Amerika, Arab Saudi mengurangi pernyataan pernyataan Pro Rusia, Jerman menerapkan kebijakan sangsi ekonomi kepada Rusia secara penuh.Hal yang menarik India masih mbalelo, dimana terus mengambil kebijakan menentang kebijakan sangsi Amerika, dengan tetap sebagai salah satu pembeli terbesar LNG dan Minyak Rusia, Tak hanya itu India juga menampung dan memberikan tempat Media besar Rusia Sputnik dan Russia Today (RT) basis perwakilan regional yang sebelumnya berlokasi di London dan Jerman, yang dituduh oleh Amerika mesin propaganda Rusia.

   Hal ini terjadi karena India memiliki posisi tawar dalam hal kebijakan anti Tiongkok yang di sangat dibutuhkan Amerika, dalam memuluskan perang proxy dengan Tiongkok di Taiwan, sehingga Amerika mengesampingkan perbedaan pandangan dalam Isu anti Rusia.

​            Tidak berselang lama setelah penertiban pertama terhadap para sekutu utama, Amerika bergerak cepat memfokuskan diri untuk menghadapi perang proxy selanjutnya yakni dengan China di Taiwan dan laut China Selatan, serta melakukan gertakan dan tekanan terhadap negera negara khusus di kawasan Asia, strategi dilakukan dengan cara  membangun pangkalan militer serta intervensi politik. 

        Seperti intervensi Amerika terhadap pemilihan presiden di Filipina, dimana Amerika berhasil mengantar Bongbong Marcos Junior menjadi presiden Filipina menggantikan presiden Duterte, tidak malu malu di hari hari awal menjalankan jabatannya Bongbong langsung tancap gas mengubah kebijakan luar negeri presiden Duterte yang cenderung pro tiongkok, menjadi pro Amerika.

Di bidang ekonomi Bongbong langsung menghentikan kelanjutan Filipina dalam mendukung program Belt And Road Initiative-nya Tiongkok, tak hanya itu di bidang Militer Bongbong mengizinkan Amerika membangun empat basis pangkalan Militer besar di Filipina, yang salah satunya berkekuatan Nuklir. 

​            Intimidasi lainnya, dengan membuka  kantor NATO pertama di Asia yang berlokasi di Tokyo Jepang, yang secara tak langsung menyiratkan ekspansi NATO yang sangat agresif di wilayah Asia. Amerika juga menambah jumlah pasukan di Jepang, yang berarti bisa pisau bermata dua, disatu sisi melindungi Jepang dari ancaman Korea Utara yang terus menembakkan rudal nuklirnya ke wilayah perairan Jepang dalam setiap uji coba nuklir, disisi lain bisa juga menduduki Jepang dari dalam, jika Jepang membangkang.

​            Demikian juga Papua Nugini telah mengizinkan Amerika untuk membangun pangkalan militer berkekuatan nuklir di wilayahnya tanpa syarat dan  Australia se bagai sekutu abadi Amerika dalam aliansi Five Eyes, juga sudah memiliki Pangkalan Militer  Amerika yang berkekuatan Nuklir dengan anggaran sebesar 330 milyar US dolar.

​            Secara finansial Amerika telah menggelontorkan dana besar besaran untuk program melawan dan mengepung Tiongkok  dengan total anggaran yang sudah disetujui Kongres sejumlah 8,12 Milyar US Dolar, dengan rincian sebagai berikut pertama,  2 Milyar US Dolar untuk program pembiayaan Militer Amerika di Taiwan dan Sekutu Utamanya di Indo Pasifik, Kedua, 1,9 Milyar US Dolar untuk menambah perlengkapan pertahanan kepada Taiwan dan lainnya, Ketiga, 542  juta US Dolar untuk memperkuat kemampuan pasukan militer Amerika di semua pangkalan Militer Amerika di Asia, ke-empat, 133 juta US Dolar untuk meningkatkan produksi dan pengembangan artileri dan amunisi penting militer Amerika di kawasan Asia. 

Sebagai catatan bahwa jumlah dana tersebut belum termasuk dana yang sudah digelontorkan untuk Australia sebesar 330 Milyar US dolar, jadi total dana berjumlah 338,12 Milyar US Dolar, Bisa dibayangkan jika terjadi peperangan maka kekacauannya bisa melebihi tiga kali lipat dari perang proxy Amerika di Ukraina, karena anggaran yang di gelontorkan ke Ukraina hanya sebesar kurang lebih 100 Milyar US Dolar, itupun jumlah 60 Milyar US Dolar baru saja di cairkan untuk Ukraina. 

Artinya kawasan Asia sudah dikepung oleh pangkalan militer, NATO dan penambahan jumlah Pasukan Amerika serta dukungan dana yang sangat besar, dengan semua fakta yang sudah di uraikan menunjukkan kebijakan Biden “bersama Amerika atau menentang Amerika” itu bukan pilihan, tetapi sebenarnya pilihan harus bersama Amerika.

 

Opsi Pro  Rusia / Tiongkok 

​            Perubahan atau Status Quo? begitulah realita peta kekuatan geopolitik yang ada saat ini, hal ini terjadi setelah 2 (dua) tahun Perlawanan Rusia  dalam mengatasi  kepungan Amerika bersama 31 (tiga puluh satu) Negara anggota NATO dan sejumlah Negara Non NATO.

​            Sanksi sanksi “Drakonia” Amerika dan sekutu kepada Rusia, menjadi bumerang bagi ekonomi Uni Eropa dan Amerika, Ekonomi Amerika,Uni Eropa dan sekutu hancur dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi, kebangkrutan berbagai perusahaan besar dan tingkat pengangguran yang tinggi.

Langkah cepat Rusia memutuskan menawarkan diskon besar besaran atas sumber daya Gas dan Minyak kepada India dan Tiongkok, menjadi faktor mematahkan berbagai sangsi ekonomi yang di terapkan Amerika.

​            Keberanian India yang mengambil keputusan pragmatis untuk menampung dan membeli Gas serta Minyak Rusia, dengan harga murah, mengejutkan banyak pihak karena India juga dikenal sebagai sekutunya Amerika, berbeda dengan Tiongkok yang jika membeli Gas dan Minyak sudah sewajarnya sebagai sesama Negara dengan musuh yang sama. Keputusan India inilah yang merupakan salah satu faktor Rusia berhasil mematahkan semua serangan sanksi ekonomi. 

Kekuatan Militer dan Intelijen Rusia sejak era Uni Soviet, yang di gadang gadangkan nomor satu dunia ternyata terbukti, superioritas angkatan udara Rusia dan kerja keras komunitas Intelijen Rusia mampu memberangus alutsista canggih seperti Rudal Patriot, Tank Leopard dan Drone canggih lainnya yang dikirimkan oleh Amerika dan sekutunya ke Ukraina, mampu di hancurkan bahkan sebelum di gunakan.

Rusia melalui Sputnik juga unggul dalam perang informasi / disinformasi dengan Amerika dan sekutunya. Sputnik mampu menjadikan sejumlah veteran Central Intelligence Agency (CIA) menjadi narasumber tetap dalam pembahasan perang proxy Ukraina, seperti Scott Ritter, Larry Johnson, Roy McGovern dan lainnya.

            Rusia mampu menggalang kekuatan ekonomi dan teknologi Tiongkok sebagai magnet untuk menarik Negara Negara lain bergabung ke dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa), Negara Negara yang mampu di tarik diantaranya Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Iran, Mesir dan Ethiopia.

            Dengan kekuatan ini sudah mampu membuat BRICS mengungguli kekuatan ekonomi G7, dan memunculkan embrio dedolarisasi  yang mengancam dominasi dolar Amerika dalam perdagangan dunia. Selain itu Sebagai catatan bahwa Negara Negara yang bergabung di BRICS telah mendapatkan bantuan teknologi Nuklir dari Rusia dan Tiongkok.

Tidak Hanya sibuk menangkis atau bertahan, Komunitas Intelijen Rusia diduga kuat juga mampu menyerang balik dengan memicu konflik regional dan anti Amerika di wilayah Timur Tengah dan Afrika, seperti konflik Hamas – Israel, konflik Iran – Israel dan memunculkan embrio anti kolonisasi di Timur Tengah dan Afrika.

Keberadaan Korea Utara sebagai loyalis Rusia yang terus menerus uji coba Nuklir, dengan jangkauan bisa mencapai Amerika dan berbagai Negara eropa, semakin meningkatkan kewaspadaan serta meningkatkan kekuatan militer Amerika di wilayah Asia, yang sewaktu waktu bisa digunakan menggempur Korea Utara.  

​            Dengan hasil sementara dari perang proxy Amerika dan Rusia di tahun 2024, menegaskan bahwa dominasi Militer, diplomasi dan Intelijen Amerika telah mengalami degradasi dimana tidak sepenuhnya lagi menjadi super power tunggal dunia.

Opsi kebijakan tak berpihak

​            Terjepit diantara dua raksasa, itulah realitas yang akan di hadapi jika terjadi konfrontasi Militer terbuka antara berbagai pihak yang bertikai, utamanya  di Asia. Belum lagi secara ekonomi malah mendapatkan ketidak pastian serta berbagai gangguan di masa depan yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

​            Gugatan WTO Yang sedang berjalan terhadap program hilirisasi Indonesia, serta ancaman atas kebijakan hilirisasi yang terus akan di hempang dengan berbagai cara, belum lagi meningkatnya eskalasi perlawanan OPM, masih hidupnya isu isu PKI maupun ekstrem kanan, yang sewaktu waktu dapat membesar untuk menggoyang pemerintahan.

​            Intervensi terhadap isu isu pelanggaran HAM, pelanggaran lingkungan serta Supremasi penegakan hukum, yang berdampak  tekanan pada pemerintahan dengan tujuan membuat destabilisasi politik dalam negeri.

Indikasi dimana terlihat sejak awal adanya intervensi Asing terhadap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, yang membuat pernyataan sesuai isu yang berkembang di berbagai media, seperti anggota Komite HAM PBB yakni Bacre Waly Ndiaye, yang menyoroti netralitas Jokowi di Pilpres, terkait pencalonan Gibran.   

            Demikian juga dengan Lembaga ANFREL Asian Network For Free Election yang berani menuding Jokowi memanfaat bansos untuk memenangkan Gibran.

​            Operasi Intelijen baik terbuka maupun secara senyap, diduga akan terus dilakukan untuk menggoyang bahkan menggulingkan pemerintahan.

Mempertahankan kebijakan tidak berpihak sudah tidak relevan dengan progress penggalangan kekuatan militer Amerika di Asia yang tidak menyisakan ruang  bagi Negara Negara Asia untuk mengulur waktu. 

            Belum lagi strategi Intervensi Amerika diberbagai belahan Negara yang sudah menjadi rahasia umum, untuk memaksakan kehendak dan menancapkan dominasinya.


Outlook



Share