MAU DIBAWA KE MANA ARAH BANGSA DI BAWAH KOMANDO PRABOWO
Amazing Eportal
; Pemerintahan Prabowo Subianto harus memilih kebijakan luar negeri dari tiga
opsi yang ada pertama pro Amerika atau bergabung di blok Amerika, kedua
bergabung di blok Rusia – Tiongkok, tiga melanjutkan kebijakan tak
berpihaknya Jokowi.
Opsi Pro
Amerika
Dibawah Pemerintahan Joe Biden, Amerika
menerapkan kebijakan “bersama Amerika atau menentang Amerika” kebijakan keras
ini diawali dengan program perang proxy dengan Rusia di Ukraina.
Disana terlihat jelas para sekutu Amerika utamanya Uni Eropa, Inggris, Kanada,
Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Pakistan dan Arab Saudi pada awalnya bingung dan ragu ragu untuk mengikuti
komando Amerika dalam memerangi Rusia di Ukraina.
Hal tersebut dilihat dari pengiriman alutsista blok Amerika ke Ukraina yang di
tentang oleh polandia, dimana antara jerman dan polandia saling lempar tanggung
jawab yang menggunakan teritorialnya sebagai pangkalan dan atau penampung
Alutsista, lalu juga bisa dilihat dari penolakan dari India, Jepang, Singapura
atas keikutsertaannya dalam menerapkan sangsi sangsi ekonomi berat kepada
Rusia.
Bahkan India malah membeli LNG atau Gas dan Minyak dari Rusia yang di
embargo oleh Amerika. Karena keragu
raguan para sekutu dan tindakan yang membangkang dari sekutu tersebut Amerika tampak jelas mengambil langkah yang sangat keras terhadap
sekutunya, yakni di bomnya pipa minyak dan Gas Nord Stream 2.
Dimana Jerman seharusnya tersinggung karena project Nord Stream 2
menghabiskan biaya yang sangat mahal dan dibiayai oleh Jerman sebagai pipa
penghubung aliran Minyak dan Gas yang terhubung langsung antara Jerman dan Rusia. Selain itu
project Pipa Nord Stream 2, merupakan urat nadi perekonomian Jerman pada
khususnya dan Uni Eropa pada Umumnya.
Bukan hanya Jerman, India juga di guncang dengan Isu minoritas Islam, yang
sempat menimbulkan konsentrasi massa luar biasa di dalam negeri India,
Sementara Arab Saudi terjadi ledakan di pabrik minyak Aramco
yang di duga sebagai sabotase Amerika, karena Arab Saudi membela Rusia
dalam kasus Ukraina.
Yang paling parah adalah Pakistan dimana Perdana Menteri Imran Khan di
Kudeta oleh Militer bahkan terjadi percobaan pembunuhan dengan luka tembakan di
tubuh Imran Khan, yang juga di duga sebagai bagian dari hukuman penertiban atas
pembelaan mati matian Imran Khan terhadap Rusia yang melakukan Operasi Militer
Khusus di wilayah Ukraina.Penertiban awal ini cukup membuat mayoritas para sekutu
ciut dan dengan kesadaran sendiri maupun secara terpaksa mengikuti komando Amerika.
Pakistan dengan pemimpin barunya Junta Militer segera mengambil kebijakan
yang pro Amerika, Arab Saudi mengurangi pernyataan pernyataan Pro Rusia, Jerman
menerapkan kebijakan sangsi ekonomi kepada Rusia secara penuh.Hal yang menarik
India masih mbalelo, dimana terus mengambil kebijakan menentang kebijakan
sangsi Amerika, dengan tetap sebagai salah satu pembeli terbesar LNG dan Minyak
Rusia, Tak hanya itu India juga menampung dan memberikan tempat Media besar Rusia Sputnik dan Russia Today (RT) basis perwakilan regional yang sebelumnya berlokasi di
London dan Jerman, yang dituduh
oleh Amerika mesin propaganda Rusia.
Hal
ini terjadi karena India memiliki posisi tawar dalam hal kebijakan anti
Tiongkok yang di sangat dibutuhkan Amerika, dalam memuluskan perang proxy
dengan Tiongkok di Taiwan, sehingga Amerika mengesampingkan perbedaan pandangan
dalam Isu anti Rusia.
Tidak berselang lama
setelah penertiban pertama terhadap para sekutu utama, Amerika bergerak cepat
memfokuskan diri untuk menghadapi perang proxy selanjutnya yakni dengan China
di Taiwan dan laut China Selatan, serta melakukan gertakan dan
tekanan terhadap
negera negara khusus di kawasan Asia, strategi dilakukan dengan cara membangun
pangkalan militer serta intervensi politik.
Seperti intervensi Amerika terhadap pemilihan presiden di Filipina, dimana Amerika berhasil
mengantar Bongbong Marcos Junior menjadi presiden Filipina menggantikan
presiden Duterte, tidak malu malu di hari hari awal menjalankan jabatannya
Bongbong langsung tancap gas mengubah kebijakan luar negeri presiden Duterte yang
cenderung pro tiongkok, menjadi pro Amerika.
Di bidang ekonomi Bongbong langsung menghentikan kelanjutan Filipina dalam
mendukung program Belt And Road Initiative-nya Tiongkok, tak hanya itu di
bidang Militer Bongbong mengizinkan Amerika membangun empat basis pangkalan
Militer besar di Filipina, yang salah satunya berkekuatan Nuklir.
Intimidasi lainnya, dengan membuka kantor NATO pertama di Asia
yang berlokasi di Tokyo Jepang, yang secara tak langsung menyiratkan ekspansi
NATO yang sangat agresif di wilayah Asia. Amerika juga menambah jumlah pasukan
di Jepang, yang berarti bisa pisau bermata dua, disatu sisi melindungi Jepang dari ancaman Korea Utara yang terus
menembakkan rudal nuklirnya ke wilayah perairan Jepang dalam setiap uji coba
nuklir, disisi lain bisa juga menduduki Jepang dari dalam, jika Jepang
membangkang.
Demikian juga Papua Nugini telah
mengizinkan Amerika untuk membangun pangkalan militer berkekuatan nuklir di
wilayahnya tanpa syarat dan Australia se bagai sekutu abadi Amerika
dalam aliansi Five Eyes, juga sudah memiliki Pangkalan Militer Amerika yang berkekuatan
Nuklir dengan anggaran sebesar 330 milyar US dolar.
Secara finansial Amerika telah
menggelontorkan dana besar besaran untuk program melawan dan mengepung Tiongkok
dengan total anggaran yang sudah disetujui Kongres sejumlah 8,12 Milyar
US Dolar, dengan rincian sebagai berikut pertama, 2 Milyar US Dolar untuk
program pembiayaan Militer Amerika di Taiwan dan Sekutu Utamanya di Indo
Pasifik, Kedua, 1,9 Milyar US Dolar untuk menambah perlengkapan pertahanan
kepada Taiwan dan lainnya, Ketiga, 542 juta US Dolar untuk memperkuat
kemampuan pasukan militer Amerika di semua pangkalan Militer
Amerika di Asia, ke-empat, 133 juta US Dolar untuk meningkatkan produksi dan
pengembangan artileri dan amunisi penting militer Amerika di
kawasan Asia.
Sebagai catatan bahwa jumlah dana tersebut belum termasuk dana yang sudah
digelontorkan untuk Australia sebesar 330 Milyar US dolar, jadi total dana
berjumlah 338,12 Milyar US Dolar, Bisa dibayangkan
jika terjadi peperangan maka kekacauannya bisa melebihi tiga kali lipat dari
perang proxy Amerika di Ukraina, karena anggaran yang di gelontorkan ke Ukraina
hanya sebesar kurang lebih 100 Milyar US Dolar, itupun jumlah 60 Milyar US
Dolar baru saja di cairkan untuk Ukraina.
Artinya kawasan Asia sudah dikepung oleh pangkalan militer, NATO dan
penambahan jumlah Pasukan Amerika serta dukungan dana yang sangat
besar, dengan semua fakta yang sudah
di uraikan menunjukkan kebijakan Biden “bersama Amerika atau menentang Amerika”
itu bukan pilihan, tetapi sebenarnya pilihan harus bersama Amerika.
Opsi Pro Rusia / Tiongkok
Perubahan atau Status Quo? begitulah realita peta kekuatan
geopolitik yang ada saat ini, hal ini terjadi setelah 2 (dua) tahun Perlawanan Rusia dalam
mengatasi kepungan Amerika bersama 31 (tiga puluh satu) Negara anggota
NATO dan sejumlah Negara Non NATO.
Sanksi sanksi “Drakonia” Amerika dan
sekutu kepada Rusia, menjadi bumerang bagi ekonomi Uni Eropa dan Amerika,
Ekonomi Amerika,Uni Eropa dan sekutu hancur dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi,
kebangkrutan berbagai perusahaan besar dan tingkat pengangguran yang tinggi.
Langkah cepat
Rusia memutuskan menawarkan diskon besar besaran atas sumber daya Gas dan
Minyak kepada India dan Tiongkok, menjadi faktor mematahkan berbagai sangsi
ekonomi yang di terapkan Amerika.
Keberanian India yang mengambil keputusan
pragmatis untuk menampung dan membeli Gas serta Minyak Rusia, dengan harga
murah, mengejutkan banyak pihak karena India juga dikenal sebagai sekutunya Amerika, berbeda
dengan Tiongkok yang jika membeli Gas dan Minyak sudah sewajarnya sebagai
sesama Negara dengan musuh yang sama. Keputusan India inilah yang merupakan salah satu faktor Rusia berhasil
mematahkan semua serangan sanksi ekonomi.
Kekuatan Militer dan Intelijen Rusia sejak era Uni
Soviet, yang di gadang gadangkan nomor satu dunia ternyata terbukti,
superioritas angkatan udara Rusia dan kerja keras komunitas Intelijen Rusia mampu memberangus alutsista canggih seperti Rudal
Patriot, Tank Leopard dan Drone canggih lainnya yang dikirimkan oleh Amerika
dan sekutunya ke Ukraina, mampu di hancurkan bahkan sebelum di gunakan.
Rusia melalui Sputnik juga unggul dalam perang informasi / disinformasi
dengan Amerika dan sekutunya. Sputnik mampu
menjadikan sejumlah veteran Central Intelligence Agency (CIA) menjadi
narasumber tetap dalam pembahasan perang proxy Ukraina, seperti Scott Ritter,
Larry Johnson, Roy McGovern dan lainnya.
Rusia mampu menggalang kekuatan ekonomi dan teknologi Tiongkok sebagai magnet
untuk menarik Negara Negara lain bergabung ke dalam BRICS (Brazil, Rusia,
India, China dan South Africa), Negara Negara yang mampu di tarik diantaranya Uni Emirat Arab, Saudi Arabia,
Iran, Mesir dan Ethiopia.
Dengan kekuatan ini sudah mampu membuat
BRICS mengungguli kekuatan ekonomi G7, dan memunculkan embrio dedolarisasi yang mengancam dominasi dolar Amerika dalam
perdagangan dunia. Selain itu
Sebagai catatan bahwa Negara Negara yang bergabung di BRICS telah mendapatkan
bantuan teknologi Nuklir dari Rusia dan Tiongkok.
Tidak Hanya sibuk menangkis atau bertahan, Komunitas Intelijen Rusia diduga
kuat juga mampu menyerang balik dengan memicu konflik regional dan anti Amerika
di wilayah Timur Tengah dan Afrika, seperti konflik Hamas – Israel, konflik
Iran – Israel dan memunculkan embrio anti
kolonisasi di Timur Tengah dan Afrika.
Keberadaan Korea Utara sebagai loyalis Rusia yang terus menerus uji coba
Nuklir, dengan jangkauan bisa mencapai Amerika dan berbagai Negara eropa,
semakin meningkatkan kewaspadaan serta meningkatkan kekuatan militer Amerika di
wilayah Asia, yang sewaktu waktu bisa digunakan menggempur Korea Utara.
Dengan hasil sementara dari perang proxy
Amerika dan Rusia di tahun 2024, menegaskan bahwa dominasi Militer, diplomasi
dan Intelijen Amerika telah mengalami degradasi dimana tidak sepenuhnya lagi
menjadi super power tunggal dunia.
Opsi
kebijakan tak berpihak
Terjepit diantara dua raksasa, itulah
realitas yang akan di hadapi jika terjadi konfrontasi Militer terbuka antara berbagai pihak
yang bertikai, utamanya di Asia. Belum lagi secara ekonomi malah mendapatkan ketidak pastian
serta berbagai gangguan di masa depan yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
nasional.
Gugatan WTO Yang sedang berjalan terhadap
program hilirisasi Indonesia, serta ancaman atas kebijakan hilirisasi yang
terus akan di hempang dengan berbagai cara, belum lagi meningkatnya eskalasi
perlawanan OPM, masih hidupnya isu isu PKI maupun ekstrem kanan, yang sewaktu
waktu dapat membesar untuk menggoyang pemerintahan.
Intervensi terhadap isu isu pelanggaran
HAM, pelanggaran lingkungan serta Supremasi penegakan hukum, yang berdampak tekanan pada pemerintahan
dengan tujuan membuat destabilisasi politik dalam negeri.
Indikasi dimana terlihat sejak awal
adanya intervensi
Asing terhadap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, yang membuat pernyataan
sesuai isu yang berkembang di berbagai media, seperti anggota Komite HAM PBB
yakni Bacre Waly Ndiaye, yang menyoroti netralitas Jokowi di Pilpres, terkait pencalonan Gibran.
Demikian juga dengan Lembaga
ANFREL Asian Network For Free Election yang berani menuding Jokowi memanfaat
bansos untuk memenangkan Gibran.
Operasi Intelijen baik terbuka maupun
secara senyap, diduga akan terus dilakukan untuk menggoyang bahkan menggulingkan pemerintahan.
Mempertahankan
kebijakan tidak berpihak sudah tidak relevan dengan progress penggalangan
kekuatan militer Amerika di Asia yang tidak menyisakan ruang bagi Negara Negara Asia
untuk mengulur waktu.
Belum lagi strategi
Intervensi Amerika diberbagai belahan Negara yang sudah menjadi rahasia umum,
untuk memaksakan kehendak dan menancapkan dominasinya.
Outlook